Rabu, 09 Juni 2010

PENGARUH KEBERADAAN KELOMPOK PELAJAR TERHADAP PROBLEM PEMBELAJARAN REMAJA. (perkembangan peserta didik)

A. Pendahuluan

· Alasan pemilihan masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan, ketika individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang memiliki kematangan (Desmita, 2008). Perkembangan kehidupan sosial remaja ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Dalam suatu investigasi ditemukan bahwa pada usia dua tahun, anak berhubungan dengan teman sebaya 10% dari waktunya setiap hari, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40% pada usia antara 7-11 tahun (Santrock,1998).

Pada prinsipnya, hubungan teman sebaya mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan remaja. Hubungan teman sebaya remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan. Adanya hubungan persahabatan yang erat antara dua remaja atau lebih akan menyebabkan terbentuknya suatu kelompok pergaulan. Di lingkungan sekolah, kelompok pergaulan tersebut seringkali disebut sebagai kelompok pelajar, atau lebih ekstrim disebut sebagai gank pelajar.

Pada pertengahan tahun 2008, masyarakat dikejutkan dengan kemunculan video tentang aksi kekerasan sebuah kelompok pelajar putri “Gank Nero” dari Pati, Jawa Tengah. Kelompok pelajar tersebut awalnya merupakan komunitas pecinta bola basket di kalangan remaja. Namun kemudian, tujuan dan fungsi komunitas tersebut berubah yaitu dengan mengandalkan kekerasan fisik, khususnya pada anggota baru. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok remaja lain, seperti “Gank Gazper” di SMA 34 Jakarta, “Gank Black & White” di SMA 112 Jakarta, serta beberapa kelompok remaja di daerah lain.

Peristiwa-peristiwa tersebut menggambarkan betapa maraknya kemunculan kelompok pelajar pada saat ini. Fenomena maraknya kemunculan kelompok pelajar di kalangan siswa SMA Indonesia di berbagai daerah menarik untuk dikaji. Terbentuknya kelompok pelajar yang demikian dimungkinkan dapat menghambat proses pembelajaran siswa yang tergabung dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul “Pengaruh Keberadaan Kelompok Pelajar terhadap Problem Pembelajaran Remaja”.

B. Isi Pembahasan

· Uraian Problem

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, diketahui bahwa di kalangan siswa SMA banyak terbentuk kelompok pelajar. Menurut narasumber, kelompok pelajar yang terbentuk disekolah mereka ada yang mendeklarasikan diri sebagai suatu kelompok pelajar namun pada umumnya, mereka tidak mendeklarasikan diri secara khusus sebagai suatu kelompok tersendiri. Kelompok yang mendeklarasikan diri mereka sebagai suatu kelompok biasanya memiliki nama tersendiri untuk kelompoknya, seperti keterangan dari salah satu narasumber yang tergabung dalam kelompok SRC (Satria Reog Comunity). Sementara kelompok yang tidak mendeklarasikan diri seringkali tidak memiliki nama khusus untuk kelompoknya, hanya saja mereka cenderung melakukan kegiatan dan menghabiskan sebagian besar waktu bersama serta cenderung tertutup terhadap remaja lain yang bukan anggota kelompoknya.

Kelompok pelajar yang terbentuk biasanya memiliki usia yang hampir sama dan terbentuk karena adanya kesamaan minat atau kecocokan antara anggota yang satu dengan yang lain. Kesamaan minat tersebut dapat berupa kesamaan hobi, kesamaan bidang pelajaran yang disukai, atau bahkan suatu kelompok dapat terbentuk karena kesamaan artis idola. Suatu kelompok pelajar dapat juga terbentuk karena mereka sering bekerjasama dalam suatu kelompok belajar yang dibentuk oleh guru. Menurut narasumber, kelompok pelajar yang terbentuk biasanya cenderung homogen, mereka cenderung memiliki prestasi yang hampir sama, tingkat popularitas di sekolah yang hampir sama, serta taraf ekonomi yang homogen.

Kegiatan yang dilakukan dalam suatu kelompok pelajar tidak sama antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Kegiatan tersebut tergantung pada minat yang dimiliki masing-masing kelompok. Ada kelompok yang cenderung melakukan kegiatan yang kurang bermanfaat dan beberapa melakukan kegiatan negatif yang menjurus pada kenakalan remaja. Misalnya, pada kelompok SRC yang terbentuk karena anggotanya sama-sama suka “nongkrong” dan jalan- jalan maka mereka cenderung banyak menghabiskan waktu bersama untuk nongkrong, merokok, sekedar minum kopi, atau jalan-jalan keliling kota. Namun demikian, adapula kelompok remaja yang cenderung melakukan kegiatan positif seperti belajar bersama, dan saling mengingatkan bila ada yang berbuat salah.

Problem belajar seringkali muncul ketika seorang siswa terlalu fanatik dengan kelompoknya. Jika seorang siswa terlalu fanatik dengan kelompoknya maka siswa tersebut akan cenderung enggan atau sulit berinteraksi dengan siswa yang bukan anggota kelompoknya. Masalah akan timbul ketika dalam suatu mata pelajaran atau tugas siswa tersebut dikelompokkan dengan siswa yang bukan anggota kelompoknya. Siswa tersebut akan sulit bekerjasama dengan kelompok yang baru dibentuk pada mata pelajaran tersebut. Akibatnya kerja kelompok akan terhambat dan proses pembelajaran di kelas terganggu. Ada pula kasus dimana ketika guru membebaskan siswa memilih kelompoknya sendiri, kemudian mereka membentuk kelompok dengan “geng” nya maka mereka akan cenderung berdiskusi sendiri (ngrumpi) sehingga akan mengganggu proses pembelajaran di kelas.

Problem lain timbul akibat rasa solidaritas yang terlalu berlebihan terhadap kelompok. Mereka menganggap aturan-aturan yang ada dikelompoknya merupakan aturan yang harus mereka taati tanpa mempertimbangkan baik buruknya aturan tersebut. Hal ini dapat mengganggu proses pembelajaran, sebagai contoh ketika ketua kelompok membolos dalam suatu pelajaran maka anggotanya yang memiliki solidaritas tinggi juga ikut membolos, ketika anggota yang satu merokok, maka anggota lain dalam kelompok tersebut juga ikut merokok. Rasa solidaritas yang berlebihan juga dapat menyebabkan terjadinya konfrontasi antara kelompok pelajar yang satu dengan kelompok pelajar yang lain. Hal ini karena masing-masing kelompok menganggap kelompoknyalah yang paling sempurna dan menganggap remeh kelompok lain. Bila keadaan demikian dibiarkan saja maka kelompok tersebut dapat terjebak pada kenakalan remaja dan tidak menutup kemungkinan akan menjurus pada tindak kriminal.

· Analisis Masalah

Fenomena maraknya kelompok pelajar di SMA atau lebih ekstrim disebut sebagai geng pelajar sebagaimana yang telah diuraikan pada uraian problem adalah wajar bila ditinjau dari perkembangan remaja. Pada masa remaja terjadi perubahan yang drastis pada semua aspek perkembangan, meliputi perkembangan fisik, moral, maupun kognitif. Adanya perubahan drastis pada semua aspek perkembangan tersebut juga mengakibatkan suatu perubahan dalam perkembangan sosial remaja. Menurut Monks (1988), dalam perkembangan sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak, gerak yang pertama yaitu memisahkan diri dari orang tua dan gerak yang lain adalah menuju ke arah teman-teman sebaya.

Ditinjau dari perkembangan psikososial yang diajukan oleh Erik Erikson, masa remaja merupakan masa kelima dari tahap perkembangan psikososial yaitu “ identity vs role confusion”. Pada tahap ini, seorang remaja mulai mempertanyakan dan mendefinisikan kembali identitas yang dikembangkan pada tahap sebelumnya. Remaja juga cenderung untuk mencoba berbagai macam peran untuk menemukan siapa mereka dan akan menjadi siapa mereka. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, remaja mengalihkan perhatiannya dari orang tua pada teman sebaya dan kemudian mulai membentuk kelompok-kelompok pergaulan seperti kelompok pelajar atau geng pelajar (Desmita, 2008).

Anggota kelompok pelajar yang cenderung homogen serta keengganan remaja ketika harus berinteraksi dengan remaja lain yanng bukan kelompoknya telah dijelaskan oleh Hurlock. Menurut Hurlock (1990), remaja sebagai kelompok , cenderung lebih pemilih-milih dalam menentukan rekan dan teman baik bila dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja yang latar belakang sosial, agama, atau sosial ekonominya berbeda dianggap kurang disenangi bila dibandingkan dengan remaja yang berlatar belakang sama. Ketika seorang remaja menghadapi teman-teman yang kurang cocok maka ia akan cenderung tidak mempedulikan.

Pada uraian problem, dijelaskan pula bahwa remaja yang membentuk kelompok cenderung memiliki solidaritas yang tinggi terhadap kelompoknya dan cenderung mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh kelompoknya. Kecenderungan remaja untuk mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok dapat dijelaskan dengan perkembangan sosioemosional remaja. Ditinjau dari perkembangan sosioemosional, pada masa remaja terdapat tuntutan otonomi untuk menetukan dirinya sendiri. Pada waktu yang sama, mereka juga sedang mencari penyesuaian untuk dapat diterima oleh kelompok mereka. Hubungan interpersonal antara remaja dengan kelompoknya menjadi intensif karena penerimaan oleh teman sebaya menjadi sangat penting bagi remaja.

Teman sebaya merupakan tempat berbagi perasaan dan pengalaman. Mereka juga menjadi bagian dari proses pembentukan identitas diri. Untuk bisa diterima, mereka mencontoh gaya bahasa, pakaian, dan tingkah laku kelompok. Meskipun pembentukan kelompok merupakan suatu pernyataan emansipasi sosial, tetap saja tidak terlepas dari adanya bahaya, sebab setiap pembentukan kelompok kecenderungan kohesi bertambah kuat.

Dalam kelompok dengan kohesi yang kuat, akan berkembang norma atau peraturan-peraturan kelompok. Muncul pula suatu gejala konformitas, berupa tekanan dari kelompok baik itu nyata ataupun tidak (hanya persepsi dari remaja itu sendiri), sehingga ia mengadopsi sikap atau perilaku orang lain (baik itu perilaku pemimpin kelompok maupun perilaku anggota lain dalam kelompok tersebut) dan mematuhi norma yang ada dalam kelompok.

Menurut teori moral Kohlberg, remaja berada pada level konvensional yaitu pada tahap orientasi anak yang baik (tahap ketiga). Pada tahap ini, anak cenderung bersifat konformitas untuk menghindari celaan dan agar dapat disenangi oleh kelmpoknya. Jika konformitas itu bersifat positif, remaja akan mengadopsi hal-hal positif pula. Sebaliknya, jika konformitasnya bersifat negatif, remaja dapat dengan mudah terbawa pada perilaku yang kurang baik, seperti membolos sekolah, merokok, mencuri, menggunakan obat terlarang, yang tentunya akan membahayakan perkembangan remaja tersebut (Gunarsa, 2004). Dengan kata lain, ketika konformitas yang terjadi bersifat positif, maka akan mendukung proses perkembangan moral dalam diri remaja tersebut, demikian sebaliknya.

Namun demikian, meskipun norma tersebut bukan merupakan norma yang buruk, tetap saja terdapat bahaya bagi pembentukan identitas remaja karena mereka akan lebih mementingkan perannya sebagai anggota kelompok daripada mengembangkan pola norma dirinya sendiri. Biasanya norma kelompok berbeda dengan norma yang diajarakan orang tua semenjak kecil. Bila terdapat paksaan dari kelompoknya untuk mengikuti norma kelompok maka akan sulit bagi remaja untuk mencapai keyakinan diri.

Menurut Monks (1988), tingkat kepekaan seorang remaja terhadap pengaruh kelompok tergantung pada kontrol eksternal dan kontrol internal pada diri remaja itu sendiri. Remaja yang kontrol eksternalnya lebih tinggi daripada kontrol internalnya, ia akan lebih peka terhadap pengaruh kelompoknya. Remaja dengan kontrol eksternal tinggi cenderung memiliki rasa solidaritas yang berlebihan terhadap kelompok sehingga mereka akan cenderung mematuhi norma-norma kelompok dan cenderung enggan untuk berinteraksi dengan remaja di luar kelompoknya

· Alternatif Solusi

Problem pembelajaran yang ditimbulkan oleh adanya kelompok pelajar di sekolah harus segera diatasi. Namun demikian, kita tidak mungkin mengatasinya dengan cara menghapus keberadaan kelompok pelajar karena keberadaan kelompok pelajar merupakan sesuatu yang normal dalam perkembangan remaja. Meniadakan kelompok pelajar justru dapat menghambat perkembangan yang sedang terjadi pada remaja itu sendiri.

Pada intinya, untuk menghindari adanya problem pembelajaran akibat keberadaan kelompok pelajar adalah dengan mencegah adanya sikap fanatik atau solidaritas yang berlebihan dari seorang siswa pada kelompok yang dimilikinya. Akan tetapi, untuk menghindari rasa fanatik terhadap kelompok juga bukan hal yang mudah dan diperlukan usaha dari siswa itu sendiri dan pihak-pihak yang dekat dengan siswa seperti guru dan orang tua.

Berikut peran yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak dalam mengatasi problem yang diakibatkan oleh keberadaan kelompok pelajar.

a. Orang Tua

Pada masa anak-anak, seseorang sangat dekat dan cenderung patuh pada orang tuanya. Pada masa inilah orang tua harus mendidik anak dengan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma agama yang kuat. Orang tua juga harus menanamkan keyakinan dan rasa percaya diri yang kuat pada anak sehingga anak memiliki kontrol internal yang kuat. Dengan adanya kontrol internal yang kuat maka ketika seorang anak memasuki masa remaja dan mulai menjauhi orang tuanya, ia tidak mudah terpengaruh oleh kelompoknya.

Ketika seseorang beranjak remaja dan mulai mencoba memperoleh hak otonominya, maka orang tua harus memahami remaja tersebut. Orang tua seharusnya menerapkan pola asuh demokratis pada anak, tidak teralu otoriter namun juga tidak permisif. Dengan sikap demokratis dari orang tua maka pergaulan remaja tersebut dapat terkontrol tanpa adanya perasaan terkekang pada diri remaja. Orang tua juga harus tetap menjaga komunikasi yang baik dengan anaknya yang telah remaja, sehingga jarak diantara orang tua dan remaja tidak terlalu jauh dan orang tua dapat segera mengetahui ketika remaja mulai menyimpang dari koridor yang benar.

b. Guru

Seorang guru dapat diibaratkan sebagai orang tua disekolah. Guru harus dapat menciptakan iklim kelas dan kondisi-kondisi interaksi di antara murid-murid sehinggga kegiatan pembelajaran di kelas berhasil. Ketika beberapa siswa di kelas cenderung mengelompok dan tertutup atau enggan berinteraksi dengan siswa lain maka proses pembelajaran di kelas dapat terganggu. Untuk mengatasi hal tersebut, maka seorang guru harus komunikatif dan melakukan pendekatan pada siswa sehingga guru dapat mensugesti siswa agar mereka semua dapat berbaur ketika proses pembelajaran berlangsung.

Ketika dalam suatu tugas guru membagi kelas dalam kelompok dimana susunan anggota kelompoknya berbeda dengan kelompok “geng” yang ada di kelas, maka guru harus menerapkan metode pembelajaran yang menuntut rasa tanggung jawab pada siswa. Metode pembelajaran yang dipilih juga merupakan metode yang benar-benar menuntut kerjasama atau dengan kata lain siswa tidak akan berhasil bila tidak bekerjasama. Contoh metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah Cooperative Learning. Pada metode ini, siswa dituntut aktif dan bekerja sama dengan kelompoknya karena siswa dituntut untuk bertanggung jawab pada pembelajarannya sendiri maupun pembelajaran siswa lain dalam kelompok. Selain itu, pada metode Cooperative Learning juga terdapat penghargaan bagi kelompok yang paling berhasil dalam pembelajaran sehingga akan memacu siswa untuk menjadi yang terbaik. Dengan metode demikian, maka siswa mau tidak mau harus bekerjasama dengan kelompok barunya meskipun kelompok tersebut bukan “geng”nya.

c. Siswa ( Remaja)

Untuk menghindari rasa fanatik yang berlebihan terhadap kelompok, maka siswa tersebut harus memiliki kontrol internal yang kuat. Siswa harus berusaha bersikap fleksibel pada saat pembelajaran di kelas sehingga pembelajaran dapat berhasil. Selain itu, siswa juga harus melakukan seleksi pada kelompok yang akan ia ikuti. Siswa hendaknya mampu memilih kelompok dengan kegiatan positif dan tidak terlalu menekan anggota kelompok untuk mengikuti norma kelompok. Dengan cara demikian, maka siswa dapat menyelesaikan tugas perkembangannya sebagai remaja dan keberadaan kelompok di kelas tidak akan menjadi problem bagi proses pembelajaran.

C. Penutup / Kesimpulan

1. Kelompok pelajar merupakan kelompok pergaulan antar pelajar yang didasari oleh persahabatan dan kesamaan minat pada suatu bidang.

2. Kecenderungan remaja membentuk kelompok adalah wajar pada masa perkembangan remaja bila ditinjau dari segi perkembangan psikososial dan perkembangan sosioemosional.

3. Keberadaan kelompok pelajar dapat mengganggu proses pembelajaran dikelas ketika terdapat rasa fanatik dan solidaritas yang berlebihan pada anggota kelompok sehingga ia cenderung enggan berinteraksi dengan siswa yang bukan anggota kelompoknya.

4. Problem pembelajaran remaja yang diakibatkan oleh adanya rasa fanatik terhadap kelompok dapat ditanggulangi dengan usaha yang keras dari pihak guru, orang tua, dan siswa itu sendiri.

Daftar Rujukan

Desmita, 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosda Karya

Hurlock, Elizabeth B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Gunarsa, Singgih D, 2004. Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Monks, F. J, dkk. 1988. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar