Rabu, 16 Juni 2010

SEKILAS TENTANG PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)

Akhir-akhir ini istilah Penelitian Tindakan Kelas atau PTK sangat populer di dunia pendidikan, terlebih lagi dengan adanya upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui program sertifikasi guru. Tapi sebenarnya apa sih PTK?? Apa kaitan PTK dengan peningkatan kualitas pendidikan? Dan mengapa guru perlu menguasai PTK?? Dalam artikel ini, saya akan mencoba menuliskan sedikit pengetahuan saya mengenai PTK (karena saya juga masih belajar hehehe)

A. Pengertian dan Awal Mula PTK
Secara sederhana, PTK dapat didefinisikan sebagai sebuah proses investigasi terkendali yang berdaur ulang dan bersifat reflektif mandiri yang dilakukan oleh guru atau calon guru yang memiliki tujuan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sistem, cara kerja, proses, isi, kompetensi, atau situasi pembelajaran (Susilo, 2009).
PTK juga diartikan sebagai salah satu strategi penyelesaian masalah yang memanfaatkan tindakan nyata dan proses pengembangan kemampuan dalam mendeteksi dan menyelesaikan masalah (Susilo, 2009). Dalam prakteknya adanya hubungan timbal balik antara pihak-pihak yang terlibat PTK, sehingga saling mendukung satu sama lain.
Penelitian tindakan kelas (PTK) adalah penelitian reflekstif yang dilaksanakan secara siklus (berdaur) oleh guru atau calon guru di dalam kelas. Dikatakan demikian karena proses PTK dimulai dari tahapan perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi hal-hal baru demi peningkatan kualitas pembelajaran (Susilo, 2009).
Terdapat banyak perdebatan dan pendapat mengenai latar belakang adanya PTK. Diantara banyak pendapat tersebut, ada salah satu pendapat yang menyebutkan bahwa istilah “penelitian tindakan” mula-mula diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1934. setelah mengalami pengalaman praktis yang terkait dengan penelitian tindakan, pada awal tahun 1940an Kurt Lewin mendefinisikan penelitian tindakan sebagai suatu proses pengembangan daya pikir reflekstif, diskusi, dan pengambilan keputusan sekaligus yang dilakukan oleh sekelompok orang biasa yang berpartisipasi dalam penelitian bersama mengenai “kesulitan pribadi” yang sama-sama mereka alami (Adelman dalam Susilo, 2009).
Pengertian PTK selanjutnya telah banyak dirumuskan. Banyak sekelompok orang pada daerah tertentu yang melakukan PTK. Dari sini orang akan mendefiniskan PTK dengan berbagai macam pengertian mereka dengan manganut pada sumber-sumber tertentu. Pada dasarnya PTK ditulis berdasarkan tentang apa yang ada di lapangan mengenai masalah-masalah yang muncul tentang anak didik terutama. PTK yang umum dilakukan oleh seorang guru. Dalam hal ini sebaiknya seorang guru ataupun calon guru yang akan atau sedang melakukan PTK harus memiliki pedoman dan contoh-contoh yang dapat dijadikan sebagai dasar pengetahuan penelitian tindakan yang akan dilakukan.
Menurut Amien dalam Susilo (2009), proses belajar mengajar yang efektif dan bermakna akan berlangsung bila proses belajar mengajar benar-benar dapat memberikan keberhasilan dan kepuasan, baik bagi siswa maupun bagi guru. Pendapat ini memang benar, mengingat banyaknya permasalahan yang ada dan dialami oleh banyak peserta didik selama proses belajar mengajar. Ketercapaian hasil PTK yang baik adalah apabila seorang guru atau calon guru dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi siswa maupun bagi dirinya sendiri.
Banyak perbaikan yang diperlukan dalam permasalahan pendidikan di Indonesia agar menghasilkan siswa cerdas yang akan membangun dan meneruskan cita-cita bangsa di masa yang akan datang. Hal ini akan terus berjalan dengan adanya PTK yang semakin hari semakin baik pelaksanaannya.
Menurut Susilo (2009), alasan pentingnya PTK adalah karena PTK membuat guru dan siswa mampu membangun cara-cara yang berbeda untuk menyelesaikan atau menyempurnakan tugas-tugas membelajarkan atau belajar memperbaiki praktik pembelajaran dan tingkah laku belajar dalam kelas, serta mampu mengerjakan kegiatan belajar dan membelajarkan yang efektif untuk semuanya.
Pendapat tersebut memang merupakan pokok dasar yang harus dilaksanakan agar pembelajaran yang efektif dapat ditempuh seiring dengan perkembangan jaman. Dimana diketahui perkembangan jaman akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian peserta didik terhadap pembelajaran dan sebagainya. Selain itu, PTK juga dilatar belakangi oleh pentingnya hubungan yang baik dan sehat antara guru atau dosen dengan peserta didiknya.
Salah satu ciri keprofesionalan guru adalah mau belajar sepanjang hayat, dan salah satu sarana untuk belajar sepanjang hayat adalah dengan melakukan penelitian tindakan kelas atau PTK. Selain itu, PTK juga dapat digunakan sebagai sarana naik pangkat dan sarana untuk melengkapi bukti kinerja yang dimasukkan kedalam portofolio pada saat sertifikasi guru atau calon guru (Susilo, 2009).

B. Karakteristik-Karakteristik PTK
Penelitian tindakan kelas memiliki karakteristik yang membedakannya dengan jenis penelitian lain (Susilo, 2009). Karakteristik dari PTK adalah sebagai berikut.
a. Masalah yang diteliti berupa masalah praktik pembelajaran sehari-hari di kelas yang dihadapi oleh guru atau calon guru, termasuk bagaimana membelajarkan siswa dengan pendekatan kontekstual, bagaimana mengembangkan kecakapan hidup siswa, serta bagaimana mengembangkan kompetensi siswa berdasarkan KTSP
b. Diperlukan tindakan-tindakan tertentu untuk memecahkan masalah tersebut dalam rangka memperbaiki atau meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.
c. Terdapat perbedaan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan PTK
d. Guru sendiri yang berperan sebagai peneliti baik secara perorangan maupun kelompok.
Berikut dideskripsikan karakteristik lain dari PTK.
• Penelitian tindakan kelas bersifat situasional, yaitu berkaitan dengan mendiagnosis masalah dalam konteks tertentu, misalnya di kelas pada suatu sekolah dan berupaya untuk menyelesaikannya pada konteks tersebut.
• Penelitian tindakan kelas merupakan upaya kolaboratif antara guru/calon gru dan siswa-siswanya, yaitu suatu satuan kerjasama dengan perspektif berbeda
• Penelitian tindakan kelas bersifat self-evaluatif, yaitu kegiatan modifikasi praktis yang dilakukan secara continu, dievaluasi dalam situasi yang terus berjalan dengan tujuan akhir untuk meningkatkan perbaikan dalam praktiknya secara nyata
• Penelitian tindakan kelas bersifat luwes dan menyesuaikan.
• Penelitian tindakan kelas terutama memanfaatkan data pengamatan dan perilaku empiris.
• Ketentuan ilmiah dalam penelitian tindakan kelas memang agak longgar karena penelitian tindakan kelas merupakan antitesis dari desain penelitian eksperimental yang sebenarnya

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tindakan Kelas
Menurut Susilo (2009), tujuan dan manfaat PTK adalah sebagai berikut.
• Tujuan penelitian tindakan kelas
 Memperbaiki dan meningkatkan praktik pembelajaran secara berkesinambungan yang pada dasarnya melekat pada terlaksananya misi profesional pendidikan yang diemban oleh guru.
 Meningkatkan kualitas program sekolah secara keseluruhan dalam masyarakat yang cepat berubah
 Memperbaiki dan eningkatkan layanan profesional guru dalam menangani pembelajaran yang dapat dicapai dengan melakukan refleksi untuk mendiagnosis keadaan.
 Pengembangan kemampuan-keterampilan guru untuk menghadapi masalah pembelajaran di kelasnya dan di sekolahnya sendiri
 Menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru dan dosen sebagai pendidik
 Memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran melalui teknik-teknik pengajaran yang tepat sesuai dengan masalah dan tingkat perkembangan peserta didik
 Memberdayakan guru dan meningkatkan kemampuan guru dalam membuat keputusan yang tepat bagi peserta didik dan kelas yang diajarnya.
• Manfaat penelitian tindakan kelas
 Guru dan calon guru dapat langsung memerbaiki praktik-praktik pembelajaran agar menjadi lebih baik dan lebih efektiv
 Guru dan calon guru dapat meneliti sendiri kegiatan praktik pembelajaran yang ia lakukan di kelas
 Guru dan calon guru dapat melihat, merasakan dan menghayati apakah praktik-praktik pembelajaran yang dilakukan selama ini emiliki keefektivan yang tinggi.
 Guru dan calon guru daat mencari cara baru untuk memperbaiki dan meningkatkan profesionalisme guru dalam pembelajaran di kelas dengan cara melihat berbagai indikator keberhasilan proses dan hasil pembelajaran yang terjadi pada siswa.
 Menumbuhkan budaya meneliti pada guru dan calon guru agar terjadi inovasi pembelajaran
 Meningkatkan keprofesionalan guru dan calon guru, terutama kemampuan dalam menjabarkan kurikulum sesuai dengan tuntutan lokal, sekolah, dan kelas
 Meningkatkan mutu pengajaran dan hasil belajar peserta didik berdasarkan temuan langsung dari kelas guru sendiri
 Mengembangkan kerjasama atau kolaborasi antarguru di sekolah itu dan guru-guru di sekolah lain di dalam memecahkan masalah pengajaran dan pembelajaran.
 Menumbuhkan kebiasaan guru atau calon guru melaksanakan pembelajaran yang berwawasan penelitian (learning through research).
 Membiasakan guru atau piha lain untuk memecahkan masalah dan erumuskan program pembelajaran berdasarkan temuan empiris yang kontekstual.

D. JENIS DAN MODEL PTK
 Jenis Penelitian Tindakan Kelas
Menurut Sunendar (2008), ada empat jenis PTK, yaitu: (1) PTK diasnogtik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental. Berikut dikemukakan secara singkat mengenai keempat jenis PTK tersebut.
1. PTK Diagnostik, yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosa dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Contoh: apabila peneliti berupaya menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat di suatu sekolah atau kelas.
2. PTK Partisipan, suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penelian harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dengan demikian, sejak penencanan panelitian peneliti senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di sekolah seperti halnya contoh nomor satu di atas. Peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian.
3. PTK Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman penelti dalam pekerjaan sehari-hari.
4. PTK Eksperimental; yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatam belajar-mengajar. Di dalam kaitanya dengan kegitan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran.

 Model Penelitian Tindakan Kelas
Ada beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan di dalam dunia pendidikan, di antaranya menurut Susilo (2009): (1) model Kurt Lewin, (2) model Kemmis dan Mc Taggart, (3) model John Elliot, (4) model Hopkins, dan (5) model Mc Kernan.


1. Model Kurt Lewin
Menurut Sunendar (2008), konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) Perencanaan (planning), (2) aksi atau tindakan (acting), (3) Observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting).



2. Model Kemmis dan Mc Taggart
Konsep PTK model Kemmis dan Mc Taggart merupakan perkembangan dari model Kurt Lewin. Susilo (2009) menyatakan bahwa pelaksanaan penelitian tindakan mencakup empat langkah:
a. merumuskan masalah dan merencanakan tindakan
b. melaksanakan tindakan dan pengamatan/monitoring
c. merefleksi hasil pengamatan
d. mengubah/merevisi perencanaan untuk pengembangan selanjutnya


3. Model John Elliot
Apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu Model Kurt Lewin dan Kemmis-McTaggart, PTK Model John Elliot nampak lebih detail dan rinci. Dikatakan demikian karena di dalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3-5 aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah, yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. Tujuan disusunnya secara terinci pada PTK Model John Elliot ini agar terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf di dalam pelaksanan aksi atau proses belajar-mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan setiap pokok bahasan biasanya tidak dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi akan diselesaikan dalam beberapa rupa itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya (Sunendar, 2008).


Gambar 1.3 langkah-langkah PTK model John Elliot (Sumber: Elliot:1991)

4. Model Hopkins
Hopkins memiliki pendapat sendiri tentang model/desain PTK yang didasarkan pada desain-desain para ahli pendahulunya, yaitu sebagai berikut:

Gambar 1.4 desain PTK model Hopkins(Sumber: Hopkins:1993)

5. Model Mc Kernan
Mc Kernan menjabarkan lebih rinci proses penelitian tindakan dalam tujuh langkah yang harus dicermati, antara lain sebagai berikut.
1) Analisis situasi atau medan
2) Perumusan dan klarifikasi permasalahan
3) Hipotesis tindakan
4) Perencanaan tindakan
5) Implementasi tindakan dengan memonitoringnya
6) Evaluasi hasil tindakan
7) Refleksi dan pengambilan keputusan untuk pengembangan selanjutnya



E. Prosedur Pelaksanaan PTK
Menurut Zulkarnaini (2009), prosedur PTK terdiri dari empat langkah utama,antara lain perencanaan (plan), tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection). Menurut Djojosuroto (2004) dalam Zulkarneni (2009) keempat prosedur itu dapat dijabarkan seperti berikut ini:
(1) Melaksanakan survei terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Teknik yang digunakan: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, tes, atau teknik lain.
(2) Mengidentifikasi berbagai masalah yang dirasakan perlu untuk segera dipecahkan. Misalnya: siswa sangat pasif selama pembelajaran.
(3) Merumuskan secara jelas, dengan disertai penjelasan tentang penyebab-penyebabnya. Misalnya siswa sangat pasif selama pembelajaran karena dalam memimpin pembelajaran guru hanya menggunakan teknik ceramah.
(4) Merencanakan tindakan untuk mengtasi masalah yang muncul tersebut. Misalnya untuk pelajaran bahasa Indonesia guru menerapkan teknik bermain peran (role play) dengan mempertimbangkan bahwa dengan teknik tersebut siswa dapat mengembangkan keterampilan berbahasa dengan ragam yang dikehendaki.
(5) Melaksanakan tindakan, yang dalam contoh di atas ialah menerapkan teknik bermain peran dalam pelajaran bahasa Indonesia.
(6) Melakukan pengamatan terhadap kinerja dan perilaku siswa. Tujuannya adalah untuk mengetahaui ada tidaknya perubahan keaktifan siswa dalam pembelajaran.
(7) Menganalisis dan merefleksi: menjelaskan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tindakan. Misalnya dengan teknik bermain peran siswa mulai menammpakkan keberaniannya menggunakan bahasa Indonesia dengan ragam tertentu. Masalahnya: mereka masih terkesan malu-malu kucing.
(8) Melakukan perencanaan tindakan ulang untuk meningkatkan kualitas kinerja seperti yang dihendaki atau memecahkan masalah yang tersisa (contoh di atas adalah rasa malu-malu kucing). Ketika sampai ke langkah yang kedelapan ini, peneliti sudah memasuki siklus yang kedua.

F. Kelebihan dan Kekurangan PTK
Proses penelitian kolaboratif memperkuat kesempatan bagi hasil penelitian tentang praktik pendidikan untuk diumpanbalikkan ke sistem pendidikan dengan cara yang lebih substansial dan kritis. Proses tersebut mendorong guru untuk berbagi masalah-masalah umum dan bekerja sama sebagai masyarakat penelitian untuk memeriksa asumsi, nilai dan keyakinan yang sedang mereka pegang dalam kultur sosio-politik lembaga tempat mereka bekerja. Proses kelompok dan tekanan kolektif kemungkinan besar akan mendorong keterbukaan terhadap perubahan kebijakan dan praktik. Penelitian tindakan kolaboratif secara potensial lebih memberdayakan daripada penelitian tindakan yang dilakukan secara individu karena menawarkan kerangka kerja yang mantab untuk perubahan keseluruhan (Burns, 1999 dalam Muthoharoh, 2009).
Selain itu, ada kelebihan lain dari PTK kolaboratif menurut Wallace, 1998 dalam Muthoharoh, 2009 antara lain:
(1) kedalaman dan cakupan, yang artinya makin banyak orang terlibat dalam proyek penelitian tindakan, makin banyak data dapat dikumpulkan, apakah dalam hal kedalaman (misalnya studi kasus kelas bahasa Inggris) atau dalam hal cakupan (misalnya beberapa studi kasus suplementer; populasi yang lebih besar), atau dalam keduanya dan ini disebabkan makin banyak perspektif yang digunakan akan makin intensif pemeriksaan terhadap data atau makin luas cakupan persoalan dalam hal tim peneliti saling berkolaborasi dalam meneliti kelasnya masing-masing.
(2) Validitas dan reliabilitas, yaitu keterlibatan orang lain akan mempermudah penyelidikan terhadap satu persoalan dari sudut yang berbeda, mungkin dengan menggunakan teknik penelitian yang berbeda (yaitu menggunakan trianggulasi); dan
(3) Motivasi yang timbal lewat dinamika kelompok yang benar, di mana bekerja sebagai anggota tim lebih bersemangat daripada bekerja sendiri.
Menurut Shumsky dalam Madya, 2008, PTK memiliki kelebihan sebagai berikut:
(1) tumbuhnya rasa memiliki melalui kerja sama dalam PTK,
(2) tumbuhnya kreativitias dan pemikiran kritis lewat interaksi terbuka yang bersifat reflektif/evaluatif dalam PTK,
(3) dalam kerja sama ada saling merangsang untuk berubah,
(4) meningkatnya kesepakatan lewat kerja sama demokratis dan dialogis dalam PTK.
PTK Anda juga memiliki beberapa kelemahan antara lain:
(1) kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam teknik dasar penelitian pada Anda sendiri karena terlalu banyak berurusan dengan hal-hal praktis
(2) rendahnya efisiensi waktu karena Anda harus punya komitmen peneliti untuk terlibat dalam prosesnya sementara Anda masih harus melakukan tugas rutin
(3) konsepsi proses kelompok yang menuntut pemimpin kelompok yang demokratis dengan kepekaan tinggi terhadap kebutuhan dan keinginan anggota-anggota kelompoknya dalam situasi tertentu, padahal tidak mudah untuk mendapatkan pemimimpin demikian (Madya, 2008).

G. Pentingnya Seorang Guru Menguasai PTK
PTK merupakan suatu penelitian yang akar permasalahannya muncul di kelas, dan dirasakan langsung oleh guru yang bersangkutan. Penelitian tindakan dianggap sebagai sesuatu bentuk investigasi yang bersifat reflektif, partisipasif, kolaboratif, spiral, yang memiliki tujuan untuk melakukan perbaikan sistem, metode kerja, proses, isi, kompetensi, dan situasi.
Menurut Susilo (2009), alasan perlunya PTK adalah karena PTK membuat guru dan siswa mampu membangun cara-cara yang berbeda untuk menyelesaikan atau menyempurnakan tugas-tugas membelajarkan/belajar memperbaiki praktik pembelajaran dan tingkah laku belajar dalam kelas, serta mampu mengerjakan kegiatan belajar mengajar yang efektif untuk semuanya. PTK juga dapat digunakan sebgai sarana komunikasi dan kolaborasi antara guru dan dosen pada bidang studi yang sama, misal melalui kegiatan lesson study. Selain itu, alasan terpenting dilakukan PTK adlah guru tidak perlu takut dengan istilah penelitian yang seringkali terkesan rumit, karena PTK tidak memerlukan teori dan statistika yang rumit.
PTK penting bagi guru karena
1. Guru mempunyai otonomi untuk menilai kinerjanya
2. Temuan penelitian tradisional sering sukar diterapkan untuk memperbaiki pembelajaran
3. Guru merupakan orang yang paling akrab dengan kelasnya
4. Interaksi guru-siswa berlangsung secara unik
5. Keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan inovatif yang bersifat pengembangan mempersyaratkan guru untuk mampu melakukan PTK di kelasnya (Mundilarto 2004).
Peran serta guru dalam upaya-upaya perbaikan pendidikan dirasa perlu untuk menemukan pendekatan yang berbeda dalam pemanfaatan penelitian untuk perbaikan pembelajaran. Guru tidak lagi dianggap sebagai penerima pembaharuan, melainkan ikut bertanggung jawab dan berperan aktif untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya sendiri melalui penelitian tindakan yang dilakukan terhadap proses pembelajaran yang dikelola.
Bagi pendidikan di sekolah, PTK dapat digunakan untuk perbaikan secara praktis yang meliputi penanggulangan berbagai permasalahan belajar yang dialami siswa baik yang diajar oleh guru sebagi pelaku PTK maupun siswa lain pada umumnya, seperti kesalahan-kesalahan konsep dalam mata pelajaran, kesulitan-kesulitan mengajar yang dialami oleh guru, dan sebagainya. Selain itu perbaikan praktis tersebut dapat terjadi secara berkesinambungan karena cenderung terprakarsai ”dari dalam” bukan karena diinstruksikan dari luar (Tim Pelatih Proyek PGSM 1999).
Dalam pelaksanaan PTK sasaran penelitian dapat diambil dari berbagai permasalahan dalam pembelajaran sains yang menjadi keprihatinan guru yang dapat digunakan sebagai titik acuan prakarsa pelaksanaan PTK. Dengan demikian para guru dapat memperbaiki atau meningkatkan mutu pembelajaran sains mereka.
Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan penelitian tindakan kelas yaitu menumbuhkembangkan budaya meneliti bagi tenaga kependidikan agar lebih proaktif mencari solusi akan permasalahan pembelajaran. Pembelajaran sains secara tidak langsung menuntut guru sains untuk rajin melakukan penelitian-penelitian agar dapat menemukan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan mutu proses dan mutu hasil belajar siswa. Setelah ditemukannya metode pembelajaran yang tepat, diharapkan siswa lebih termotivasi untuk belajar dan mudah dalam menerima dan memahami pelajaran tentang sains. Sehingga hasil belajar siswa tersebut juga semakin baik dan pada akhirnya tujuan pendidikan dapat tercapai. Dengan demikian, penelitian tindakan kelas ini sangat relevan dengan pembelajaran sains yang terus berkembang dan sering ditemui permasalahan-permasalahan pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Madya, Suwarsih, Prof., Dr. Penelitian Tindakan Kelas. 2008. (Online), (http://edu-articles.com/penelitian-tindakan-kelas/, diakses tanggal 28 Februari 2010)

Muthoharoh, Hafiz, S.Pd., I. Kelebihan dan Kekurangan PTK Kolaboratif. 2009. (Online), (http://alhafizh84.wordpress.com/2009/12/22/kelebihan-dan-kelemahan-ptk-kolaboratif/, diakses tanggal 28 Februari 2010)

Mundilarto, Rustam. 2004. Penelitian Tindakan Kelas. Diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Sunendar, Tatang. 2008. Penelitian Tindakan Kelas, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat, (Online), (http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses tanggal 28 Pebruari 2010).

Susilo, Herawati, dkk. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Bayumedia.


Tim Pelatih Proyek PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah (Secondary School Teacher Development Project).

Zulkarnaini. 2009. Penelitian Tindakan Kelas, (Online), (http: Zulkarnainidiran.wordpress.com, diakses tanggal 28 Pebruari 2010).

PENCERNAAN PADA PARAMECIUM


Hewan menggunakan berbagai cara untuk memperoleh makanan. Beberapa hewan mengintai, mengejar, memukul, menangkap, dan membunuh. Bagi spesies hewan menempel (sesil), dalam mendapatkan makanan terpaksa harus menggunakan cara yang lebih halus, seperti mengabsorpsi melalui permukaan tubuh, menyaring makanannya atau menjebak (Soewolo, 2000).
Beberapa protozoa dan invertebrata yang hidup bebas ada yang menggunakan permukaan tubhnya untuk megambil makanan dari medium di sekitarnya. Molekul –molekul kecil seperti asam amino diambil dari medium encer di sekitarnya dengan mekanisme transpor aktif, sedangkan molekul –molekul yang lebih besar atau partikel – partikel diambil melalui proses endositosis (Soewolo, 2000).
Kali ini, saya akan sedikit membahas tentang pencernaan pada salah satu anggota dari fillum protozoa, yaitu paramecium. Paramecium merupakan organisme dari kelas Cilliata, filum Protozoa. Paramecium dicirikan dengan adanya silia yang berfungsi sebagai alat gerak. Paramecium berhabitat di air tawar dan mudah ditemukan pada sisa tumbuhan yang membusuk (www.ruf.rice.edu).
Untuk mengetahui bagaimana proses pencernaan makanan dalam paramecium, biasanya dilakukan suatu praktikum sederhana yang diawali dengan pembuatan sediaan makanan paramecium yang berupa ragi (yeast). Selanjutnya, pada sediaan makanan ditambahkan Congo Red. Congo Red merupakan indikator Ph yang dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan Ph pada saat terjadi proses pencernaan makanan dalam vakuola makanan paramecium berdasarkan pada perubahan warna yang ditimbulkan. Congo red memiliki sifat asam dengan Ph antara 3 – 5,2. Pada Ph 5, Congo Red akan berwarna ungu dan akan berwarna biru pada Ph dibawah 3 (www.ruf.rice.edu).
Pada paramecium, pencernaan makanan terjadi dalam vakuola makanan. Vakuola makanan merupakan organel yang berfungsi untuk menerima makanan, mencerna makanan, dan mengedarannya ke seluruh bagian sel dengan cara mengelilingi sel. Awalnya makana masuk ke dalam sel melalui “rongga mulut” (oral groove), lalu masuk ke dalam sitostoma. Kemudian makanan akan didorong masuk ke dalam sitofaring dengan bantuan gerakan silia dan dorongan air yang masuk. Ketika makanan mencapai bagian dasar sitofaring, vakuola makanan akan dibentuk.
Pencernaan makanan di dalam vakuola makanan terjadi pada saat vakuola makanan bergerak di dalam sitoplasma, yang disebut dengan gerak siklosis. Enzim pencernaan yang terlibat adalah protease, karbohidrase, dan esterase yang disekresikan oleh lisosom ke dalam vakuola makanan. Vakuola makanan yang bergerak secara siklosis akan mengecil ukurannya secara bertahap karena proses digesti dan absorpsi.
Dalam praktikum dengan menggunakan Congo Red akan terjadi perubahan warna pada vakuola makanan Paramecium yang menandakan adanya proses pencernaan makanan. Adanya perubahan warna pada vakuola makanan paramecium menunjukkan terjadinya perubahan pH. Perubahan pH pada vakuola makanan paramecium selama proses pencernaan makanan disebabkan karena adanya enzim-enzim yang diekskresikan oleh lisosom. Untuk mencerna makanan, lisosom akan berfusi dengan vakuola makanan (Soewolo, 2000 : 158). Enzim-enzim pada lisosom akan bekerja optimal pada pH sekitar 5 (Istanti, 1999). Jadi ketika sediaan makanan berupa ragi dan Congo Red masuk ke dalam vakuola makanan, keadaan vakuola makanan yang pada awalnya bersifat basa akan berubah menjadi bersifat asam untuk mengoptimalkan kerja enzim-enzim yang dihasilkan oleh lisosom. Setelah proses pencernaan makanan selesai, maka vakuola makanan dan lisosom yang awalnya berfusi akan berpisah kembali. Lisosom terpisah dari vakuola makanan dengan membawa enzim-enzim yang tadi dibawanya. Hal ini menyebabkan suasana pada vakuola makanan kembali menjadi basa.
Setelah makanan dicerna, ada bagian dari substansi makanan yang diabsorpsi masuk kedalam darah untuk diangkut menuju ke sel jaringan, namun ada juga bagian dari substansi makanan yang tidak dapat dicerna (dalam bentuk zat buangan). Zat buangan ini disimpan untuk sementara utuk kemudian dibuang keluar melalui sitopage. Proses pembuangan ini disebut defekasi ( Wulangi, 1993 ; 97).
Yup... setidaknya, itulah yang saya pahami mengenai pencernaan pada Paramecium. Dari tulisan tersebut tentu saja belum sempurna, masih banyak kurangnya karena saya juga masih belajar hehehe...
DAFTAR PUSTAKA
Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta : DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.
Wulangi, Kartolo S. 1993. Prinsip-Prinsip Fisiologi Hewan. Bandung : ITB

METODE BELAJAR JIGSAW SERTA PENERAPANNYA

  • Landasan Teori

    Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Lie, 2007). Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.

Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Lie, 2007).

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil dengan anggota heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Lie, 2007).

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan (Lie, 2007).

Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam (heterogen). Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji).

Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Selama proses diskusi, guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Lie, 2007) :


 



 

Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

Dalam pembelajaran dengan penerapan Jigsaw, materi dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran. Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Penerapan Jigsaw dalam pembelajaran memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain:

a. metode pembelajaran ini dapat melatih siswa untuk lebih aktif dalam berbicara dan berpendapat (Kholid, 2009)

b. pemerataan penguasaan materi dapat dicapai dalam waktu yang singkat (Kholid, 2009)

c. jigsaw merupakan salah satu metode dalam pembelajaran kooperatif, dimana siswa akan mampu untuk:

- menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois dan egosentris

- meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan social

- menghilangkan siswa dari penderitaan akibat kesendirian atau keterasingan

- meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia

- meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai perspektif

- meningkatkan keyakinan terhadap idea tau gagasan sendiri

- meningkatkan kesediaan mengunakan ide orang lain yang dirasakan lebih baik

- meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan yang ada

- mengembangkan kesadaran bertanggung jawab dan saling menjaga perasaan

- meningkatkan sikap tenggang rasa

- meningkatkan kemampuan berfikir divergen atau berpikir kreatif

- meningkatkan rasa harga diri (self-esteem) dan penerimaan diri (self acceptance

Namun demikian, dalam pelaksanaan pembelajaran jigsaw di dalam kelas tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.
  2. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
  3. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
  4. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
  5. Banyak siswa yang tidak senang bila disuruh bekerjasama dengan orang lain.
  6. Perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dengan kelompok (Wulandari, 2009).
  • Contoh Penerapan dalam Materi Pembelajaran

Dalam suatu pembelajaran, metode Jigsaw cocok digunakan untuk materi yang terdiri atas beberapa sub bab. Misalnya pada kelas XI SMA metode Jigsaw dapat diterapkan pada materi struktur dan fungsi jaringan tumbuhan yang dikhususkan pada pertemuan yang membahas tentang organ pokok pada tumbuhan. Pada materi ini akan dibagi menjadi tiga sub bahasan yaitu:

  • Struktur dan fungsi akar
  • Struktur dan fungsi daun
  • Struktur dan fungsi batang


 


 

  • Skenario Pembelajaran

Langkah- langkah dalam pembelajaran dengan menggunakan metode Jigsaw:

Tahap 1 : Memunculkan masalah dalam bentuk soal;

  1. Bagaimanakah struktur dan fungsi organ pokok pada tumbuhan yang berupa :
  • Akar
  • Batang
  • Daun

Tahap 2 : Membagi siswa menjadi tiga kelompok, yang masing-masing terdiri dari tiga anggota.

Tahap 3 : Masing-masing anak diberi soal berbeda sesuai dengan kajian yang akan dibahas.

Tahap 4 : Membentuk kelompok ahli.

Tahap 5 : Berdiskusi dalam kelompok ahli

Tahap 6 : Kembali ke kelompok asal

Tahap 7: Masing-masing mempresentasikan hasil diskusi dalam kelompok ahli pada kelompok asal

Tahap 8 : Guru secara acak meminta salah satu kelompok untuk memprsetasikan hasil kerja kelompoknya.

Tahap 9 : Evaluasi


 

DAFTAR PUSTAKA

Kholid, Abdul. 2009. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw (online). (http://www.unila.ac.id.) Diakses tanggal 16 Oktober 2009.

Lie, Anita. 2007.Cooperative Learning. Jakarta :Grasindo.

Wulandari, Eka Dian. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Kerjasam Siswa Pada Mata Pelajaran IPA kelas V di SDN Bareng 3 Malang. Skripsi: FIP UM


 

Rabu, 09 Juni 2010

PENGARUH KEBERADAAN KELOMPOK PELAJAR TERHADAP PROBLEM PEMBELAJARAN REMAJA. (perkembangan peserta didik)

A. Pendahuluan

· Alasan pemilihan masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan, ketika individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang memiliki kematangan (Desmita, 2008). Perkembangan kehidupan sosial remaja ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Dalam suatu investigasi ditemukan bahwa pada usia dua tahun, anak berhubungan dengan teman sebaya 10% dari waktunya setiap hari, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40% pada usia antara 7-11 tahun (Santrock,1998).

Pada prinsipnya, hubungan teman sebaya mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan remaja. Hubungan teman sebaya remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan. Adanya hubungan persahabatan yang erat antara dua remaja atau lebih akan menyebabkan terbentuknya suatu kelompok pergaulan. Di lingkungan sekolah, kelompok pergaulan tersebut seringkali disebut sebagai kelompok pelajar, atau lebih ekstrim disebut sebagai gank pelajar.

Pada pertengahan tahun 2008, masyarakat dikejutkan dengan kemunculan video tentang aksi kekerasan sebuah kelompok pelajar putri “Gank Nero” dari Pati, Jawa Tengah. Kelompok pelajar tersebut awalnya merupakan komunitas pecinta bola basket di kalangan remaja. Namun kemudian, tujuan dan fungsi komunitas tersebut berubah yaitu dengan mengandalkan kekerasan fisik, khususnya pada anggota baru. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok remaja lain, seperti “Gank Gazper” di SMA 34 Jakarta, “Gank Black & White” di SMA 112 Jakarta, serta beberapa kelompok remaja di daerah lain.

Peristiwa-peristiwa tersebut menggambarkan betapa maraknya kemunculan kelompok pelajar pada saat ini. Fenomena maraknya kemunculan kelompok pelajar di kalangan siswa SMA Indonesia di berbagai daerah menarik untuk dikaji. Terbentuknya kelompok pelajar yang demikian dimungkinkan dapat menghambat proses pembelajaran siswa yang tergabung dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul “Pengaruh Keberadaan Kelompok Pelajar terhadap Problem Pembelajaran Remaja”.

B. Isi Pembahasan

· Uraian Problem

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, diketahui bahwa di kalangan siswa SMA banyak terbentuk kelompok pelajar. Menurut narasumber, kelompok pelajar yang terbentuk disekolah mereka ada yang mendeklarasikan diri sebagai suatu kelompok pelajar namun pada umumnya, mereka tidak mendeklarasikan diri secara khusus sebagai suatu kelompok tersendiri. Kelompok yang mendeklarasikan diri mereka sebagai suatu kelompok biasanya memiliki nama tersendiri untuk kelompoknya, seperti keterangan dari salah satu narasumber yang tergabung dalam kelompok SRC (Satria Reog Comunity). Sementara kelompok yang tidak mendeklarasikan diri seringkali tidak memiliki nama khusus untuk kelompoknya, hanya saja mereka cenderung melakukan kegiatan dan menghabiskan sebagian besar waktu bersama serta cenderung tertutup terhadap remaja lain yang bukan anggota kelompoknya.

Kelompok pelajar yang terbentuk biasanya memiliki usia yang hampir sama dan terbentuk karena adanya kesamaan minat atau kecocokan antara anggota yang satu dengan yang lain. Kesamaan minat tersebut dapat berupa kesamaan hobi, kesamaan bidang pelajaran yang disukai, atau bahkan suatu kelompok dapat terbentuk karena kesamaan artis idola. Suatu kelompok pelajar dapat juga terbentuk karena mereka sering bekerjasama dalam suatu kelompok belajar yang dibentuk oleh guru. Menurut narasumber, kelompok pelajar yang terbentuk biasanya cenderung homogen, mereka cenderung memiliki prestasi yang hampir sama, tingkat popularitas di sekolah yang hampir sama, serta taraf ekonomi yang homogen.

Kegiatan yang dilakukan dalam suatu kelompok pelajar tidak sama antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Kegiatan tersebut tergantung pada minat yang dimiliki masing-masing kelompok. Ada kelompok yang cenderung melakukan kegiatan yang kurang bermanfaat dan beberapa melakukan kegiatan negatif yang menjurus pada kenakalan remaja. Misalnya, pada kelompok SRC yang terbentuk karena anggotanya sama-sama suka “nongkrong” dan jalan- jalan maka mereka cenderung banyak menghabiskan waktu bersama untuk nongkrong, merokok, sekedar minum kopi, atau jalan-jalan keliling kota. Namun demikian, adapula kelompok remaja yang cenderung melakukan kegiatan positif seperti belajar bersama, dan saling mengingatkan bila ada yang berbuat salah.

Problem belajar seringkali muncul ketika seorang siswa terlalu fanatik dengan kelompoknya. Jika seorang siswa terlalu fanatik dengan kelompoknya maka siswa tersebut akan cenderung enggan atau sulit berinteraksi dengan siswa yang bukan anggota kelompoknya. Masalah akan timbul ketika dalam suatu mata pelajaran atau tugas siswa tersebut dikelompokkan dengan siswa yang bukan anggota kelompoknya. Siswa tersebut akan sulit bekerjasama dengan kelompok yang baru dibentuk pada mata pelajaran tersebut. Akibatnya kerja kelompok akan terhambat dan proses pembelajaran di kelas terganggu. Ada pula kasus dimana ketika guru membebaskan siswa memilih kelompoknya sendiri, kemudian mereka membentuk kelompok dengan “geng” nya maka mereka akan cenderung berdiskusi sendiri (ngrumpi) sehingga akan mengganggu proses pembelajaran di kelas.

Problem lain timbul akibat rasa solidaritas yang terlalu berlebihan terhadap kelompok. Mereka menganggap aturan-aturan yang ada dikelompoknya merupakan aturan yang harus mereka taati tanpa mempertimbangkan baik buruknya aturan tersebut. Hal ini dapat mengganggu proses pembelajaran, sebagai contoh ketika ketua kelompok membolos dalam suatu pelajaran maka anggotanya yang memiliki solidaritas tinggi juga ikut membolos, ketika anggota yang satu merokok, maka anggota lain dalam kelompok tersebut juga ikut merokok. Rasa solidaritas yang berlebihan juga dapat menyebabkan terjadinya konfrontasi antara kelompok pelajar yang satu dengan kelompok pelajar yang lain. Hal ini karena masing-masing kelompok menganggap kelompoknyalah yang paling sempurna dan menganggap remeh kelompok lain. Bila keadaan demikian dibiarkan saja maka kelompok tersebut dapat terjebak pada kenakalan remaja dan tidak menutup kemungkinan akan menjurus pada tindak kriminal.

· Analisis Masalah

Fenomena maraknya kelompok pelajar di SMA atau lebih ekstrim disebut sebagai geng pelajar sebagaimana yang telah diuraikan pada uraian problem adalah wajar bila ditinjau dari perkembangan remaja. Pada masa remaja terjadi perubahan yang drastis pada semua aspek perkembangan, meliputi perkembangan fisik, moral, maupun kognitif. Adanya perubahan drastis pada semua aspek perkembangan tersebut juga mengakibatkan suatu perubahan dalam perkembangan sosial remaja. Menurut Monks (1988), dalam perkembangan sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak, gerak yang pertama yaitu memisahkan diri dari orang tua dan gerak yang lain adalah menuju ke arah teman-teman sebaya.

Ditinjau dari perkembangan psikososial yang diajukan oleh Erik Erikson, masa remaja merupakan masa kelima dari tahap perkembangan psikososial yaitu “ identity vs role confusion”. Pada tahap ini, seorang remaja mulai mempertanyakan dan mendefinisikan kembali identitas yang dikembangkan pada tahap sebelumnya. Remaja juga cenderung untuk mencoba berbagai macam peran untuk menemukan siapa mereka dan akan menjadi siapa mereka. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, remaja mengalihkan perhatiannya dari orang tua pada teman sebaya dan kemudian mulai membentuk kelompok-kelompok pergaulan seperti kelompok pelajar atau geng pelajar (Desmita, 2008).

Anggota kelompok pelajar yang cenderung homogen serta keengganan remaja ketika harus berinteraksi dengan remaja lain yanng bukan kelompoknya telah dijelaskan oleh Hurlock. Menurut Hurlock (1990), remaja sebagai kelompok , cenderung lebih pemilih-milih dalam menentukan rekan dan teman baik bila dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja yang latar belakang sosial, agama, atau sosial ekonominya berbeda dianggap kurang disenangi bila dibandingkan dengan remaja yang berlatar belakang sama. Ketika seorang remaja menghadapi teman-teman yang kurang cocok maka ia akan cenderung tidak mempedulikan.

Pada uraian problem, dijelaskan pula bahwa remaja yang membentuk kelompok cenderung memiliki solidaritas yang tinggi terhadap kelompoknya dan cenderung mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh kelompoknya. Kecenderungan remaja untuk mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok dapat dijelaskan dengan perkembangan sosioemosional remaja. Ditinjau dari perkembangan sosioemosional, pada masa remaja terdapat tuntutan otonomi untuk menetukan dirinya sendiri. Pada waktu yang sama, mereka juga sedang mencari penyesuaian untuk dapat diterima oleh kelompok mereka. Hubungan interpersonal antara remaja dengan kelompoknya menjadi intensif karena penerimaan oleh teman sebaya menjadi sangat penting bagi remaja.

Teman sebaya merupakan tempat berbagi perasaan dan pengalaman. Mereka juga menjadi bagian dari proses pembentukan identitas diri. Untuk bisa diterima, mereka mencontoh gaya bahasa, pakaian, dan tingkah laku kelompok. Meskipun pembentukan kelompok merupakan suatu pernyataan emansipasi sosial, tetap saja tidak terlepas dari adanya bahaya, sebab setiap pembentukan kelompok kecenderungan kohesi bertambah kuat.

Dalam kelompok dengan kohesi yang kuat, akan berkembang norma atau peraturan-peraturan kelompok. Muncul pula suatu gejala konformitas, berupa tekanan dari kelompok baik itu nyata ataupun tidak (hanya persepsi dari remaja itu sendiri), sehingga ia mengadopsi sikap atau perilaku orang lain (baik itu perilaku pemimpin kelompok maupun perilaku anggota lain dalam kelompok tersebut) dan mematuhi norma yang ada dalam kelompok.

Menurut teori moral Kohlberg, remaja berada pada level konvensional yaitu pada tahap orientasi anak yang baik (tahap ketiga). Pada tahap ini, anak cenderung bersifat konformitas untuk menghindari celaan dan agar dapat disenangi oleh kelmpoknya. Jika konformitas itu bersifat positif, remaja akan mengadopsi hal-hal positif pula. Sebaliknya, jika konformitasnya bersifat negatif, remaja dapat dengan mudah terbawa pada perilaku yang kurang baik, seperti membolos sekolah, merokok, mencuri, menggunakan obat terlarang, yang tentunya akan membahayakan perkembangan remaja tersebut (Gunarsa, 2004). Dengan kata lain, ketika konformitas yang terjadi bersifat positif, maka akan mendukung proses perkembangan moral dalam diri remaja tersebut, demikian sebaliknya.

Namun demikian, meskipun norma tersebut bukan merupakan norma yang buruk, tetap saja terdapat bahaya bagi pembentukan identitas remaja karena mereka akan lebih mementingkan perannya sebagai anggota kelompok daripada mengembangkan pola norma dirinya sendiri. Biasanya norma kelompok berbeda dengan norma yang diajarakan orang tua semenjak kecil. Bila terdapat paksaan dari kelompoknya untuk mengikuti norma kelompok maka akan sulit bagi remaja untuk mencapai keyakinan diri.

Menurut Monks (1988), tingkat kepekaan seorang remaja terhadap pengaruh kelompok tergantung pada kontrol eksternal dan kontrol internal pada diri remaja itu sendiri. Remaja yang kontrol eksternalnya lebih tinggi daripada kontrol internalnya, ia akan lebih peka terhadap pengaruh kelompoknya. Remaja dengan kontrol eksternal tinggi cenderung memiliki rasa solidaritas yang berlebihan terhadap kelompok sehingga mereka akan cenderung mematuhi norma-norma kelompok dan cenderung enggan untuk berinteraksi dengan remaja di luar kelompoknya

· Alternatif Solusi

Problem pembelajaran yang ditimbulkan oleh adanya kelompok pelajar di sekolah harus segera diatasi. Namun demikian, kita tidak mungkin mengatasinya dengan cara menghapus keberadaan kelompok pelajar karena keberadaan kelompok pelajar merupakan sesuatu yang normal dalam perkembangan remaja. Meniadakan kelompok pelajar justru dapat menghambat perkembangan yang sedang terjadi pada remaja itu sendiri.

Pada intinya, untuk menghindari adanya problem pembelajaran akibat keberadaan kelompok pelajar adalah dengan mencegah adanya sikap fanatik atau solidaritas yang berlebihan dari seorang siswa pada kelompok yang dimilikinya. Akan tetapi, untuk menghindari rasa fanatik terhadap kelompok juga bukan hal yang mudah dan diperlukan usaha dari siswa itu sendiri dan pihak-pihak yang dekat dengan siswa seperti guru dan orang tua.

Berikut peran yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak dalam mengatasi problem yang diakibatkan oleh keberadaan kelompok pelajar.

a. Orang Tua

Pada masa anak-anak, seseorang sangat dekat dan cenderung patuh pada orang tuanya. Pada masa inilah orang tua harus mendidik anak dengan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma agama yang kuat. Orang tua juga harus menanamkan keyakinan dan rasa percaya diri yang kuat pada anak sehingga anak memiliki kontrol internal yang kuat. Dengan adanya kontrol internal yang kuat maka ketika seorang anak memasuki masa remaja dan mulai menjauhi orang tuanya, ia tidak mudah terpengaruh oleh kelompoknya.

Ketika seseorang beranjak remaja dan mulai mencoba memperoleh hak otonominya, maka orang tua harus memahami remaja tersebut. Orang tua seharusnya menerapkan pola asuh demokratis pada anak, tidak teralu otoriter namun juga tidak permisif. Dengan sikap demokratis dari orang tua maka pergaulan remaja tersebut dapat terkontrol tanpa adanya perasaan terkekang pada diri remaja. Orang tua juga harus tetap menjaga komunikasi yang baik dengan anaknya yang telah remaja, sehingga jarak diantara orang tua dan remaja tidak terlalu jauh dan orang tua dapat segera mengetahui ketika remaja mulai menyimpang dari koridor yang benar.

b. Guru

Seorang guru dapat diibaratkan sebagai orang tua disekolah. Guru harus dapat menciptakan iklim kelas dan kondisi-kondisi interaksi di antara murid-murid sehinggga kegiatan pembelajaran di kelas berhasil. Ketika beberapa siswa di kelas cenderung mengelompok dan tertutup atau enggan berinteraksi dengan siswa lain maka proses pembelajaran di kelas dapat terganggu. Untuk mengatasi hal tersebut, maka seorang guru harus komunikatif dan melakukan pendekatan pada siswa sehingga guru dapat mensugesti siswa agar mereka semua dapat berbaur ketika proses pembelajaran berlangsung.

Ketika dalam suatu tugas guru membagi kelas dalam kelompok dimana susunan anggota kelompoknya berbeda dengan kelompok “geng” yang ada di kelas, maka guru harus menerapkan metode pembelajaran yang menuntut rasa tanggung jawab pada siswa. Metode pembelajaran yang dipilih juga merupakan metode yang benar-benar menuntut kerjasama atau dengan kata lain siswa tidak akan berhasil bila tidak bekerjasama. Contoh metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah Cooperative Learning. Pada metode ini, siswa dituntut aktif dan bekerja sama dengan kelompoknya karena siswa dituntut untuk bertanggung jawab pada pembelajarannya sendiri maupun pembelajaran siswa lain dalam kelompok. Selain itu, pada metode Cooperative Learning juga terdapat penghargaan bagi kelompok yang paling berhasil dalam pembelajaran sehingga akan memacu siswa untuk menjadi yang terbaik. Dengan metode demikian, maka siswa mau tidak mau harus bekerjasama dengan kelompok barunya meskipun kelompok tersebut bukan “geng”nya.

c. Siswa ( Remaja)

Untuk menghindari rasa fanatik yang berlebihan terhadap kelompok, maka siswa tersebut harus memiliki kontrol internal yang kuat. Siswa harus berusaha bersikap fleksibel pada saat pembelajaran di kelas sehingga pembelajaran dapat berhasil. Selain itu, siswa juga harus melakukan seleksi pada kelompok yang akan ia ikuti. Siswa hendaknya mampu memilih kelompok dengan kegiatan positif dan tidak terlalu menekan anggota kelompok untuk mengikuti norma kelompok. Dengan cara demikian, maka siswa dapat menyelesaikan tugas perkembangannya sebagai remaja dan keberadaan kelompok di kelas tidak akan menjadi problem bagi proses pembelajaran.

C. Penutup / Kesimpulan

1. Kelompok pelajar merupakan kelompok pergaulan antar pelajar yang didasari oleh persahabatan dan kesamaan minat pada suatu bidang.

2. Kecenderungan remaja membentuk kelompok adalah wajar pada masa perkembangan remaja bila ditinjau dari segi perkembangan psikososial dan perkembangan sosioemosional.

3. Keberadaan kelompok pelajar dapat mengganggu proses pembelajaran dikelas ketika terdapat rasa fanatik dan solidaritas yang berlebihan pada anggota kelompok sehingga ia cenderung enggan berinteraksi dengan siswa yang bukan anggota kelompoknya.

4. Problem pembelajaran remaja yang diakibatkan oleh adanya rasa fanatik terhadap kelompok dapat ditanggulangi dengan usaha yang keras dari pihak guru, orang tua, dan siswa itu sendiri.

Daftar Rujukan

Desmita, 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosda Karya

Hurlock, Elizabeth B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Gunarsa, Singgih D, 2004. Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Monks, F. J, dkk. 1988. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press